ARIO BLEDEG Pendekar Keris Tujuh Petir Karya: Bastian Tito Petir Di Mahameru (Bagian 3) DUA BELAS TASBIH KI AGENG BELA BUMI DALAM kagetnya melihat kecepatan lawan membuat gerakan mengelak Warok Wesi Gludug berbisik pada nenek di sebelahnya. "Setahuku kakek butut itu hanyalah orang tolol tukang pembuat keris. Ternyata dia memiliki ilmu silat tinggi dan sanggup menghindarkan diri dari serangan kita berdua!" "Kau bicara seolah nyalimu sudah leleh! Sungguh memalukan Warok yang telah menggegerkan belahan tengah tanah Jawa berucap seperti itu!" Kata-kata nenek berjuluk Si Lidah Bangkai itu membuat tampang garang Warok Wesi Gludug menjadi kelam membesi. Rahangnya menggembung. Dua lengannya digesekkan hingga mengeluarkan suara seperti dua batangan besi saling digosok!. Memandang ke depan dilihatnya Empu Bondan Ciptaning telah berada beberapa tombak di kejauhan, melangkah cepat meninggalkan telaga. "Empu keparat! Kau mau lari kemana! Kau kira bisa lolos dari tanganku!" Habis berteriak Warok Wesi Gludug gebuk pinggul tunggangannya. Kuda hitam itu meringkik keras lalu melesat ke depan. Si Lidah Bangkai tertawa panjang. Dia merasa gembira dapat membakar semangat sobatnya itu. Tanpa tunggu lebih lama nenek ini segera pula menggebrak kuda hitamnya, Sesaat kemudian Empu Bondan Ciptaning telah dijepit oleh dua kuda besar itu hingga dia terpaksa menghentikan langkahnya. "Empu tolol! Apa kau mau mati sia-sia hanya karena mempertahankan barang yang bukan milikmu?!" membentak Si Lidah Bangkai. Empu Bondan Ciptaning mengangkat kepalanya. Dengan suara dan sikap tenang dia menjawab. "Kalau barang-barang yang kalian minta memang milikku, sudah dari tadi aku serahkan secara ikhlas. Tapi seperti ku jelaskan. Kitab dan tasbih ini adalah barang titipan yang harus aku jaga baik-baik..." "Pandainya kau berdalih memutar lidah!" hardik Warok Wesi Gludug. Tangan kanannya yang sekeras besi dipukulkannya ke batok kepala Empu Bondan Ciptaning. Di saat bersamaan Si Lidah Bangkai menyembur. Lidahnya yang merah bercabang melesat, bergulung menyambar ke arah leher sang Empu, memuncratkan cairan merah. "Kalian berdua, mengapa masih berkeras hati berusaha memiliki barang yang bukan hak kalian. Apakah hati dan benak kalian telah berubah menjadi batu hingga tidak mau berlaku sadar?!" Sambil berucap begitu Empu Bondan Ciptaning rundukkan kepalanya, lalu untuk selamatkan diri dari dua serangan lawan dia cepat melompat ke bawah perut kuda tunggangan Si Lidah Bangkai. Nenek ini berteriak marah. Dia sentakkan tali kekang kudanya hingga binatang ini menghambur ke depan. Jika Empu Bondan Ciptaning masih mendekam di bawah tubuh kuda, niscaya dirinya akan diterjang dua kaki belakang binatang itu. Tapi orang tua ini sudah tahu apa yang bakal terjadi. Begitu Si Lidah Bangkai menyentakkan tali kekang dia sudah melompat ke kiri, ber-pindah berlindung di bawah sosok kuda tunggangan Warok Wesi Gludug. "Jahanam benar! Dia berani mempermainkan kita!" teriak Sang Warok. Sambil bergelantungan dileher kuda dia jatuhkan diri ke samping kanan. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang ke bawah. Inilah tendangan mengandung tenaga dalam tinggi yang bisa memecahkan batu. Dan yang jadi sasarannya saat itu adalah kepala Empu Bondan Ciptaning yang tengah merunduk di bawah tubuh kuda! Tendangan kaki kanan itu tidak terduga dan datangnya cepat sekali. Walau masih mampu melihat datangnya serangan namun Sang Empu tidak mungkin mengelak dengan cara melompat atau merundukkan kepala. Satu-satunya yang bisa dilakukannya ialah menangkis dengan tangan kirinya. "Bukkk!" Tangan dan kaki beradu keras. Empu Bondan Ciptaning merasa lengannya seperti dihantam palang besi. Dia menggigit bibir menahan teriak kesakitan. Tubuhnya terpental beberapa langkah, terbanting jatuh punggung di tanah. Sebelum dia sempat bangkit Si Lidah Bangkai telah menggebrak kuda tunggangannya ke arah sosok Sang Empu yang masih tergeletak di tanah. Di atas kuda si nenek tertawa mengekeh. Dia sudah mengira kaki-kaki kuda tunggangannya akan menghunjam menghancurkan tulang dada dan tulang-tulang iga Sang Empu. Tapi alangkah kagetnya si nenek dan suara tawanya serta merta lenyap ketika mendadak kuda tunggangannya meringkik keras lalu terangkat ke atas, berputar laksana titiran dan selanjutnya terlempar sejauh dua tombak lalu tergelimpang di tanah! Apakah yang telah terjadi? Ketika Si Lidah Bangkai menghamburkan kudanya ke arah dirinya yang masih tergeletak di tanah. Empu Bondan Ciptaning sudah maklum bahaya apa yang akan melandanya. Dia tak berani melompat bangkit karena gerakannya pasti akan kalah cepat dengan kedatangan hantaman kaki-kaki kuda. Orang tua ini menunggu sesaat. Matanya mengawasi. Begitu dua kaki terdepan kuda tunggangan Si Lidah Bangkai menghunjam ke arahnya, Empu Bondan Ciptaning dengan cepat gulingkan diri ke depan. Dua kaki kuda lewat di kepalanya, membongkar tanah menerbangkan debu. Saat itu juga Empu Bondan Ciptaning lesatkan pinggangnya ke atas. Sementara punggungnya masih bertumpu di tanah, kaki kanannya melesat ke atas, menyodok perut kuda. Sebelum lawannya tahu apa yang terjadi, dengan satu kekuatan yang sulit dipercaya Empu Bondan Ciptaning angkat tubuh kuda itu berikut penunggangnya lalu diputar dan dilemparkan! Si Lidah Bangkai berteriak marah. Kalau dia tidak lekas melompat jungkir balik niscaya mukanya akan berkelukuran dimakan tanah walau terlapis sisik aneh hitam kebiruan. Sementara kudanya bangkit terhuyung-huyung si nenek telah berdiri tegak, memandang ke arah Empu Bondan Ciptaning yang saat itu juga telah berdiri tegak, memandang dengan raut wajah kasihan kepada kuda hitam yang tadi dilemparkannya. "Kuda hitam, kau tak berdosa. Tapi terpaksa menerima derita. Maafkan perbuatanku itu..." Sang Empu mengeluarkan suara batinnya. "Empu jahanam! Kau memang benar-benar minta mati!" Mulut si nenek membentak keras sedang matanya memandang berapi-api. Dua tangannya disilangkan ke depan lalu didorongkan. Di saat bersamaan Warok Wesi Gludug telah melesat turun dari kudanya dan secara licik dia melompat ke belakang Empu Bondan Ciptaning. Dua tangannya yang penuh bulu dipentang ke atas. Bersamaan dengan gerakan menyerang Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug menggebrak pula dengan menghantamkan tangan kanannya ke bagian belakang kepala lawan. Empu Bondan Ciptaning bukannya tidak tahu kalau salah satu lawan telah menyerangnya dari belakang secara pengecut. Tetapi saat itu dia lebih memperhatikan gerakan sepasang tangan Si Lidah Bangkai yang ada di depannya. "Pukulan Gunting Iblis!" kata Sang Empu dalam hati. Rupanya dia telah mengetahui dengan ilmu kesaktian apa si nenek hendak menghantamnya. Pukulan Gunting Iblis yang dimiliki nenek berjuluk Si Lidah Bangkai memang telah menggegerkan dan menakutkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah Jawa, terutama menjelang berdirinya Kerajaan Demak dengan Rajanya yang pertama yakni Raden Patah. "Dia hendak menyerangku dengan pukulan maut itu!" Dua tangan Si Lidah Bangkai bergerak bersilangan. "Clakk! Claakk!" Terdengar suara mengerikan. Lebih menggidikkan lagi ketika dari dua telapak tangan si nenek bertampang angker itu tiba-tiba melesat dua larik sinar hitam, bergerak meluncur bersilangan, mengeluarkan suara seperti sebuah gunting raksasa! Seperti diketahui sebagai seorang Empu, Bondan Ciptaning sepanjang usianya memusatkan kepandaian dan kesaktiannya pada ilmu membuat berbagai senjata sakti. Walau dia memiliki ilmu silat yang bukan sembarangan dan juga menguasai beberapa pukulan sakti namun dibanding dengan ilmu kesaktian yang dimiliki sahabatnya Ki Suro Gusti Bendoro, Sang Empu jauh tertinggal. Dan saat itu ketika dia menghadapi serangan maut dari depan dan dari belakang, walau masih menunjukkan sikap tenang namun hati kecilnya mengeluh. Dia tahu jarang ada orang yang sanggup atau bisa menyelamatkan diri dari serangan Pukulan Gunting Iblis. Mungkin juga dia adalah salah satu di antaranya! "Aku tidak takut menemui kematian di tangan dua manusia sesat ini. Tapi kematianku akan membawa penyesalan sampai ke alam baka karena aku tidak bisa menyelamatkan dua barang titipan yang ada padaku...." Di saat hatinya bersuara, di saat kematian sudah di depan mata tiba-tiba Empu Bondan Ciptaning ingat pada salah satu barang yang diserahkan sahabatnya Ki Suro Gusti Bendoro kepadanya beberapa waktu sebelumnya. Yaitu yang kini terkalung di lehernya! "Tasbih sakti! Tasbih Ki Ageng Bela Bumi!" Tangan Sang Empu serta merta bergerak ke leher. "Sahabatku Ki Suro.... Harap maafkan kelancanganku. Aku terpaksa mempergunakan tasbih pusaka, barang sakti mandraguna milikmu ini untuk menyelamatkan diri.... Semoga Yang Maha Tunggal mengampuni kesalahanku! Semoga dua musuhku tidak akan mendapat celaka oleh tasbih sakti ini...." Ketika tangan sekeras besi Warok Wesi Gludug hanya tinggal sejengkal lagi untuk menghancurkan batok kepala sebelah belakang Empu Bondan Ciptaning dan dua sinar hitam menggidikkan dalam kejapan hampir bersamaan siap membantai putus pinggangnya, tiba-tiba menggelegar suara menggaung. Bersamaan dengan itu selarik sinar hijau berbentuk lingkaran bergulung di udara, membungkus sosok Empu Bondan Ciptaning mulai dari kepala sampai ke pinggul. Dua suara berdentrangan menggema membuat denyutan keras pada jantung. Dua jeritan setinggi langit menggelegar serasa membobol gendang-gendang telinga! Di tengah kalangan pertempuran Empu Bondan Ciptaning kelihatan tegak dengan tubuh bergetar dan dada terbungkuk menahan gejolak. Di tangan kanannya dia masih memegang Tasbih Ki Ageng Bela Bumi yang terbuat dari batu Giok hijau. Untuk beberapa lamanya tasbih sakti itu kelihatan mengepulkan asap kehijau-hijauan. Empu Bondan Ciptaning berpaling ketika telinganya menangkap suara orang mengerang di belakangnya. Delapan langkah di sebelah sana sosok tinggi besar Warok Wesi Gludug terkapar di tanah dalam keadaan benar-benar mengenaskan. Rambutnya yang sebelumnya dikuncir kini kelihatan hangus awut-awutan. Begitu juga cambang bawuk. janggut serta kumis tebal dan bulu-bulu yang memenuhi dadanya. Kulit mukanya dari kening sampai ke dagu, lalu di bagian badan mulai dari leher sampai ke perut yang telanjang tampak merah bahkan ada yang terkelupas. Yang paling mengerikan adalah tangan kanannya yang tadi dipergunakan memukul batok kepala lawannya. Tangan yang sekokoh besi itu kini tidak lagi memiliki jari barang sepotongpun karena seluruh telapak tangannya telah hancur. Bagian ujung lengannya yang putus remuk, menggembung merah. Cidera inilah yang merupakan sumber sakit yang bukan alang kepalang hingga Warok Wesi Gludug melejang-lejang menggeliat-geliat sambil tiada hentinya mengerang. Empu Bondan Ciptaning memandang berkeliling. Matanya mencari-cari. Tapi dia sama sekali tidak melihat Si Lidah Bangkai. Kemana lenyapnya nenek itu? Mungkin telah kabur melarikan diri. Kemudian pandangan sepasang mata Sang Empu membentur sebuah benda yang tergeletak di tanah, di dekat rerumputan dan semak belukar rendah. Tengkuknya langsung terasa dingin. Bagaimanakah tidak. Benda yang tergeletak di tanah itu adalah potongan tangan kanan manusia mulai dari ujung-ujung jari sampai sebatas siku yang telah mengelupas seluruh dagingnya dan hanya tinggal tulangnya saja yang kelihatan memutih! Mungkinkah itu potongan tangan kanan Si Lidah Bangkai? Berarti nenek itu juga mengalami cidera berat akibat adu kekuatan dengan tasbih sakti tadi. Empu Bondan Ciptaning langsung pejamkan mata dan pegang keningnya dengan tangan kiri. "Tuhan Agung, Maha Kuasa, Maha Penolong! Ampuni dosa kesalahanku! Aku telah berani berlaku lancang melukai menciderai sesama umat. Penyesalan ku lebih mendalam lagi Ya Tuhan karena untuk berbuat dosa itu aku dengan lancang mempergunakan senjata milik orang lain. Tuhan, aku tahu dua musuhku tadi adalah orang-orang sesat dan jahat! Tapi dengan melakukan kekejaman ini terhadap mereka berarti aku tidak lebih baik dari keduanya. Ampuni dosa dan kesalahanku wahai Yang Maha Kuasa...." Suara erang kesakitan yang keluar dari mulut Warok Wesi Gludug menyadarkan Empu Bondan Ciptaning. Dia kalungkan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi ke lehernya lalu melangkah cepat mendekati kepala perampok hutan Roban itu. Meski sakit mendera dirinya- mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki namun Warok Wesi Gludug masih bisa melihat siapa yang datang dan kemudian berlutut di sampingnya. "Aku mohon...." Suara Sang Warok sesaat terputus oleh erang kesakitan. "Aku mohon kau bunuh aku saat ini juga! Aku... tidak sanggup lagi menahan rasa sakit ini! Bunuh! Habisi aku saat ini juga!" Empu Bondan Ciptaning benar-benar tidak tega melihat keadaan Warok Wesi Gludug. Ke dua tangannya bergerak. Bukan untuk memenuhi permintaan penjahat itu, tetapi malah sebaliknya. Dengan cepat Empu Bondan Ciptaning menotok tubuh Sang Warok di beberapa bagian. Lalu dari saku jubah birunya dikeluarkannya sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Di dalam kantong ini ada sejenis bubuk berwarna putih. Sebagian dari bubuk itu dimasukkannya ke dalam mulut Warok Wesi Gludug, sisanya ditaburkannya di tangan kanan yang hancur. Tak selang berapa lama suara erang kesakitan dari mulut kepala rampok itu mulai perlahan lalu berhenti sama sekali. Matanya memandang sayu pada Sang Empu, mulutnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar karena sekujur tubuhnya saat itu berada dalam keadaan sangat lemah. "Kau tak perlu mengucapkan apa-apa..." kata Sang Empu pula sambil memegang kening Warok Wesi Gludug. "Dengar, aku tak mungkin membawamu ke hutan Roban. Yang bisa kulakukan adalah menaikkan mu ke atas kudamu. Binatang itu akan membawamu ke tempat kediamanmu...." Mulut Warok Wesi Gludug kembali bergerak. Namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Cukup susah bagi Empu Bondan Ciptaning menggotong tu-buh tinggi besar Sang Warok lalu membaringkannya menelungkup membelintang di atas pelana di punggung binatang itu. "Warok Wesi Gludug, aku mengaku telah bersalah besar mencelakaimu. Maafkan diriku. Aku berdoa agar kau bisa sampai di tempat kediamanmu dengan cepat dan selamat..." Empu Bondan Ciptaning mengusap punggung Sang Warok, lalu menepuk pinggul kuda hitam. Binatang ini seperti segan hendak meninggalkan tempat itu. Empu Bondan Ciptaning membelai tengkuknya beberapa kali lalu menepuk pinggulnya sekali lagi. Setelah menggaruk-garuk tanah dengan dua kaki depannya, akhirnya kuda hitam itu mulai melangkah pergi. Empu Bondan Ciptaning menghela nafas dalam lalu tinggalkan pula tempat itu. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net TIGA BELAS SEBELUM mengikuti kelanjutan apa yang dilakukan Empu Bondan Ciptaning, kemana perginya Sang Empu itu dan apa yang terjadi dengan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi serta Kitab Hikayat Keraton Kuno kita kembali dulu pada masa belasan tahun silam ketika Kesultanan Demak mulai dirundung kemelut dan tak habis-habisnya mengalami musibah berdarah. Pada masa itu yang memerintah di Demak adalah Sultan Trenggono. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan Demak dan sekaligus mengembangkan ajaran agama Islam, Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Malang bagi Sultan, dalam satu kecamuk perang yang dahsyat dia bersama sekelompok pasukannya terjebak. Usaha untuk meloloskan diri sia-sia saja karena seluruh tempat sudah dikurung. Sultan akhirnya tewas di tangan musuh. Gugurnya Sultan Trenggono bukan saja menggemparkan Demak tapi sekaligus menimbulkan kekacauan besar. Beberapa orang yang merasa dirinya berhak menggantikan Trenggono saling berebut kekuasaan. Terjadi kekacauan besar karena mereka saling mempergunakan kekuatan senjata. Pertempuran terjadi dimana-mana. Kotaraja hancur. Mereka yang saling memperebutkan tahta kerajaan itu adalah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang adalah adik mendiang Raden Patah, Raja pertama Kesultanan Demak. Sebagai adik kandung Raden Patah, Pangeran ini merasa kini dialah yang paling punya hak untuk memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Kesultanan Demak. Lalu yang menjadi lawan Pangeran Sekar Seda Lepen adalah Pangeran Prawoto yang bukan lain adalah putera Sultan Trenggono sendiri, jadi sebenarnya masih merupakan cucu Pangeran Sekar Seda Lepen sendiri. Suatu ketika Pangeran Sekar bersama para pengikutnya memasuki Kotaraja dari arah timur. Saat itu malam hari. Udara mencucuk dingin karena siangnya telah turun hujan cukup lebat. Dia sengaja mengambil jalan berputar menyeberangi sebuah sungai untuk menghindari pasukan kerajaan yang setia pada Pangeran Prawoto yang berada di dalam kota dan pasti bersiap siaga di berbagai penjuru Kotaraja. Rencana Pangeran Tua Sekar adalah akan bergabung dengan induk pasukannya di satu tempat rahasia sebelum menyerbu Keraton Demak. Karena hujan di siang hari, pada malam itu arus sungai cukup deras. Pangeran Sekar dan rombongannya dengan menunggangi kuda menyeberangi sungai dengan sangat hati-hati. Yang mereka awasi bukan cuma arus yang deras dan bisa menghanyutkan mereka, tetapi juga pinggiran sungai di seberang sana karena tidak mustahil bahaya bisa datang dari musuh yang bersembunyi di tebing sungai. Kekhawatiran Pangeran Sekar ternyata terbukti sesaat kemudian. Di malam yang dingin dan sunyi dimana hanya suara deru arus sungai yang terdengar tiba-tiba ada suara suitan dua kali berturut-turut. Lalu dari dalam rimba belantara gelap di seberang sungai kelihatan berkelebatan puluhan bayangan hitam. Mata tajam Pangeran Sekar Seda Lepen segera melihat dan menyadari datangnya bahaya. Saat itu dia bersama tiga puluh orang anggota pasukannya telah berada di tengah-tengah sungai. Cepat Sang Pangeran berteriak. "Musuh di depan kita! Semua lekas balik ke tepi barat!" Tiga puluh satu ekor kuda segera diputar berbalik ke arah tepi sungai dari mana mereka datang sebelumnya. Ini bukan pekerjaan mudah. Selain binatang tunggangan mereka masuk ke dalam air hampir setinggi punggung, saat itu arus air deras sekali. Ketika dengan susah payah akhirnya mereka bisa memutar kuda masing-masing dan bergerak menuju tepian yang berlawanan tiba-tiba salah seorang anggota pasukan yang kini berada paling depan berseru tegang sambil menunjuk. "Celaka Pangeran! Kita terjebak! Lihat di seberang sana!" Pangeran Tua Sekar Seda Lepen, diikuti semua anggota pasukan lainnya memandang ke arah yang ditunjuk. Semua mereka sama terkejut. Wajah berubah tegang. Tangan langsung meraba ke pinggang dimana mereka menyisipkan senjata masing-masing. Di seberang tepian sungai sebelah sana, puluhan sosok hitam muncul laksana setan gentayangan. Rombongan Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang berada di tengah kini terkurung antara dua tepian sungai. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Jika bergerak ke arah kanan berarti akan dihantam arus sungai yang dahsyat. Jika membelok ke kiri bisa-bisa me- reka akan diseret arus. Selagi pasukan di tengah sungai itu berada dalam kebingungan tiba-tiba kembali terdengar dua kali suara suitan. Lalu menyusul suara menderu aneh. Di gelapnya malam puluhan benda melesat dari dua tepian sungai. Ketika Pangeran Sekar mendongak ke depan dan berpaling ke belakang terkejutlah dia! "Awas serangan panah!" Pangeran Sekar segera cabut golok besar yang tersisip di pinggangnya lalu dibabatkan seputar kepala dan tubuhnya. "Traangg... tranggg... trangg...!" Beberapa anak panah yang melesat ke arah kepala dan badan Sang Pangeran terpental berpatahan. Belasan anggota pasukan melakukan hal yang sama. Coba membentengi diri masing-masing dengan putaran pedang atau golok. Tapi tingkat kepandaian mereka tidak setara Pangeran Sekar. Banyak dari mereka keluarkan suara menjerit lalu jatuh ke dalam sungai dengan tubuh ditancapi panah. Celakanya ternyata mata anak panah itu oleh musuh diberi racun. Jadi walaupun seandainya anggota pasukan yang terjebak di tengah sungai itu masih bisa menyelamatkan diri dalam keadaan luka, racun panah tetap akan merenggut nyawanya! Makin lama anak panah beracun yang datang menyambar semakin banyak dan ganas. Jeritan terdengar di mana-mana. Yang masih bisa menyelamatkan diri dalam bingungnya mencoba menceburkan diri masuk ke dalam sungai. Tapi sosoknya segera diseret arus! Sungai itu kini berubah menjadi neraka di malam buta! Kalau saja kejadian itu berlangsung pada siang hari. akan terlihat bagaimana air sungai yang tadinya bening kebiruan telah berubah menjadi merah oleh tumpahan darah! *** KEESOKAN paginya, baru saja fajar menyingsing, dalam keadaan terang-terang tanah, di arah hilir sungai, tak berapa jauh dari tempat terjadinya peristiwa pembantaian atas Pangeran Sekar Seda Lepen dan tiga puluh anggota pasukannya, kelihatan puluhan pasukan Kerajaan menarik sebuah jaring besar yang rupanya sengaja dipasang di tempat itu sejak satu hari sebelumnya. Begitu jaring diseret ke darat, yang bergelimpangan di dalam jaring besar itu bukan ikan atau makhluk penghuni sungai lainnya, tetapi sosok tubuh manusia yang sudah kaku, sembab membiru, penuh luka-luka dan ada yang masih ditancapi anak-anak panah beracun. Selain menghitung jumlah mayat yang mereka temukan, para prajurit kerajaan itu juga meneliti satu persatu wajah para korban. Tak lama kemudian, salah seorang diantara mereka yang agaknya bertindak sebagai pimpinan meninggalkan tepian sungai di sebelah timur. Dia melangkah cepat masuk ke dalam rimba belantara sejauh dua puluh tombak, baru berhenti ketika mencapai sebatang pohon besar di depan mana berdiri seorang berpakaian perwira muda bertampang keren tetapi memiliki pandangan mata sedingin es. Perwira ini bernama Tubagus Lor Putih. Di kalangan prajurit Demak perwira muda ini tidak disenangi karena sifatnya yang kasar suka memaki dan enteng tangan suka menempelengi bawahan. "Apa yang akan kau laporkan! Aku lihat mukamu redup seperti pantat kuali! Agaknya ada yang tidak beres!" Sang Perwira menegur prajurit kepala yang mendatanginya. Prajurit yang datang melapor itu kebetulan memang berkulit hitam pekat. Dengan gerak-gerik yang menunjukkan rasa takut dia memberi hormat lalu berucap. "Mo-hon maafmu Perwira. Jaring telah diangkat. Jumlah korban telah dihitung. Semua ada tiga puluh orang..." "Tiga puluh?!" Tubagus Lor Putih mengulang. Pandangan matanya yang dibesarkan membuat tampangnya menjadi angker. "Hanya tiga puluh?!" "Benar Perwira." "Mata-mata memberitahu rombongan itu berjumlah tiga puluh satu orang. Termasuk Pangeran Sekar Seda!" "Mata-mata melaporkan hal yang betul. Tetapi diantara para mayat justru mayat Pangeran itu yang tidak ditemukan!" Berubahlah air muka perwira muda Tubagus Lor Putih. "Prajurit Jangan kau berani bergurau!" Sang Perwira membentak. "Saya tidak bergurau, Perwira! Mayat yang ditemukan hanya tiga puluh. Dan mayat Pangeran Sekar Seda Lepen tidak ada di antara mereka." "Berarti Pangeran itu berhasil meloloskan diri! Luar biasa! Tidak mungkin!" Sepasang mata Perwira Tubagus Lor Putih memandang dingin menyeramkan pada prajurit kepala yang berdiri di hadapannya yang kelihatan mulai gemetar ketakutan. "Pangeran Sekar" memang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tapi itu bukan jaminan dia bisa menyelamatkan diri dari kepungan malam tadi! Lagi pula dia tidak kebal racun. Masakan tidak ada satupun anak panah yang sanggup menyerempet tubuhnya! Aku juga sudah memerintahkan memasang jaring untuk menghambat setiap mayat agar tidak hanyut ke hilir! Tapi Pangeran itu tetap lolos! Kau dan orang-orangmu bekerja tolol sembrono! Kau tahu apa artinya bagimu jika Pangeran itu benar-benar berhasil melarikan diri?!" Wajah prajurit kepala menjadi pucat. Dengan suara gemetar dia menjawab. "Saya tahu kesalahan saya Perwira. Saya siap dipancung...." "Mauku memang menebas batang lehermu saat ini juga!" kata Tubagus Lor Putih. Lalu plaakk! Tamparannya mendarat di pipi prajurit kepala. Walau sakitnya tamparan itu bukan alang kepalang dan bibirnya sampai pecah berdarah namun prajurit kepala ini masih mampu bertahan, tegak berdiri dengan kepala menghuyung. "Dengar! Aku masih memberi kesempatan padamu dan anak buahmu! Lakukan pemeriksaan sekali lagi. Pergunakan kepandaian kalian menyelam. Selidiki sampai ke dasar sungai. Mungkin mayat Pangeran itu terperangkap di dasar sungai atau tersangkut pada akar-akar pepohonan di salah satu sisi sungai!" "Siap melakukan perintah," jawab si prajurit kepala walau diam-diam dia merasa yakin tidak akan menemukan mayat Sang Pangeran. Sebelumnya dia pernah mengabdi di tempat kediaman Pangeran Sekar. Dia tahu betul bahwa adik mendiang Sultan Demak itu memiliki kepandaian tinggi. Bukan mustahil dia telah berhasil menyelamatkan diri dan saat ini tentu sudah berada jauh dari tempat itu. Sampai menjelang tengah hari dua sisi sungai telah diselidiki, rimba belantara di kiri kanan sungai diperiksa, selusin prajurit yang punya keahlian menyelam telah memeriksa dasar sungai sepanjang puluhan kaki. Namun mayat, apa lagi sosok hidup Pangeran Sekar Seda tidak berhasil ditemukan. Untuk kedua kalinya si prajurit kepala datang menghadap Tubagus Lor Putih. "Mohon ampunmu, Perwira. Semua tempat sudah diperiksa, sungai sudah diselami sampai jauh ke arah hilir. Tapi mayat Pangeran Sekar tetap tidak ditemukan...." Hemmm.... Kalau begitu kau tunggu apa lagi?!"ujar Tubagus Lor Putih. Mendengar kata-kata atasannya itu si prajurit kepala kelihatan menggigil sekujur tubuhnya. Dia jatuhkan diri, berlutut di tanah. Suaranya seperti tercekik ketika berkata. "Perwira, saya tahu kesalahan. Saya siap dihukum mati. Namun jika kau mau berbelas kasihan, aku mohon pengampunan darimu..." Tubagus Lor Putih menyeringai. "Setiap prajurit yang tahu kesalahan, harus siap menerima hukuman! Bukannya mengemis minta pengampunan!" Perwira muda ini hunus golok panjang yang tergantung di pinggangnya. "Perwira, aku mohon kau mau mempertimbangkan. Istriku baru saja melahirkan anak kami yang pertama seminggu lalu...." "Hemmmm... begitu? Lalu apa hubungan istrimu atau anakmu dengan hukuman yang harus kau terima?! Sebagai prajurit kepala kau tidak berhasil memimpin anak buahmu menangkap Pangeran Sekar. Ini merupakan satu malapetaka besar bagi Demak. Dirimu telah menjadi biang racun jatuhnya malapetaka itu. Lalu apakah artinya nyawa yang ada di dalam tubuhmu?!" Mendengar ucapan atasannya itu si prajurit kepala sadar bagaimanapun juga dia tidak bakal mendapat pengampunan. Maka tanpa daya prajurit yang malang ini bungkukkan dadanya, angsurkan kepala ke arah sang perwira. Tubagus Lor Putih sesaat pandangi sosok bawahannya itu dengan sikap dingin tanpa ada rasa belas kasihan sama sekali. Dia berpaling ke kiri, ke arah seorang prajurit tua berwajah cekung. Perwira ini lemparkan goloknya pada prajurit tua itu seraya berkata. "Kau kuberi kehormatan untuk memancung leher atasanmu itu!" Walau si prajurit tua menyambuti golok yang dilemparkan, tapi apa yang didengarnya membuat tubuhnya jadi menggigil. Dia jatuhkan diri di tanah dan berkata. "Perwira, ampuni diriku. Aku mohon jangan aku yang...." "Tua bangkai tidak berguna! Kau harusnya bangga mendapat kepercayaan melaksanakan tugas itu! Seorang prajurit Demak tidak pantas menghindar diri dari tanggung jawab! Apalagi membangkang menjalankan perintah atasan! Kurasa prajurit rongsokan sepertimu memang sudah saatnya harus disingkirkan lebih dulu!" Selesai berucap kaki kanan perwira muda itu melesat ke depan. Sosok prajurit tua mencelat ke udara lalu terbanting roboh di tanah begitu tendangan Tubagus Lor Putih melabrak dadanya. Prajurit tua ini tak berkutik lagi. Tulang dadanya remuk, jantungnya pecah. Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka. Nyawanya putus! Ketika tubuh prajurit tua itu mencelat ke udara golok yang dipegangnya ikut terpental. Dengan satu gerakan cepat dan ringan Tubagus Lor Putih melompat ke udara, menyambar gagang golok. Begitu dia melayang turun, senjata itu dibabatkannya ke bawah. De- ras sekali golok panjang itu menyambar ke arah tengkuk si prajurit kepala. Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah hilir sungai terdengar satu teriakan lantang. "Hentikan hukuman! Orang yang kalian cari ada bersamaku!" *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net EMPAT BELAS KI DALEM SLEMAN SEMUA orang di tempat itu termasuk perwira muda Tubagus Lor Putih palingkan kepala ke arah sungai. Mereka jadi terkesima melihat satu pemandangan luar biasa. Sebuah rakit kecil terbuat hanya dari beberapa potongan bambu hijau meluncur di permukaan sungai, datang dari arah hilir, melawan arus air yang siang itu masih cukup deras. Di atas rakit itu tegak seorang kakek berjubah kuning. Walau sudah tua dan seluruh rambutnya telah putih sikapnya tampak gagah. Seringainya membayangkan kekerasan hati. Di dadanya melintang sebatang tombak yang pada ujungnya terikat sehelai bendera berbentuk segi tiga warna kuning. Di bahu kiri si kakek membelintang satu sosok tak bergerak, entah masih hidup entah sudah jadi mayat. Yang jelas pada bahu kanan orang ini menancap sebatang anak panah yang telah patah bagian bawahnya. Sesekali kakek ini celupkan kaki kanannya ke dalam air sungai. Gerakannya ini membuat rakit bambu melesat ke depan! Tegak di atas rakit kecil dengan beban manusia di bahunya, meluncur melawan arus sungai yang deras dan pergunakan kaki sebagai pendayung! Sungguh luar biasa! Siapa gerangan adanya kakek hebat ini?! Di Keraton Demak orang tua itu dikenal dengan nama Ki Dalem Sleman. Selama masa pemerintahan Sultan pertama Kerajaan Demak yakni Raden Patah dia dikenal sebagai pengabdi yang setia. Ketinggian ilmunya membuat dirinya bisa menduduki jabatan tinggi serta kepercayaan dari Sultan. Namun dari beberapa kalangan tertentu diketahui bahwa walau Ki Dalem Sleman sebenarnya adalah seorang berilmu tinggi tetapi tidak mempunyai pendirian. Hari ini dia bisa menjadi abdi atau sahabat setia, tetapi besok bila keadaan lebih menguntungkan baginya maka dia bisa saja bersikap culas menjadi pengkhianat tersembunyi. Ibarat tanaman Ki Dalem Sleman adalah sebangsa ilalang liar yang akarnya tumbuh merusak tanaman lain, dan bila angin bertiup ke satu jurusan, ke arah itulah dia condong meliuk dan memagut. Ki Dalem Sleman rupanya tahu juga kalau banyak orang baik di dalam maupun di luar Keraton yang tidak menyukainya. Merasa terganggu dengan orang-orang yang mengetahui sifat pribadinya itu maka secara diam-diam satu persatu Ki Dalem Sleman dengan berbagai cara mulai menyingkirkan mereka. Banyak diantara orang-orang itu yang kemudian menemui kematian secara aneh. Atau lenyap tak tahu rimbanya. Diantara mereka yang terancam kedudukan bahkan jiwanya namun tidak mau menantang Ki Dalem Sleman karena kekuasaan dan kepercayaan Sultan terhadapnya sangat besar, secara diam-diam menjauhkan diri dan meninggalkan kehidupan Keraton. Salah seorang diantara mereka adalah Ki Suro Gusti Bendoro, tokoh yang sudah pembaca ikuti riwayatnya di awal cerita (Petir Di Mahameru Bagian 1) Secara halus orang tua tokoh utama Keraton Demak ini menjauhkan diri lebih suka menghabiskan waktu di satu tempat terpencil dan dalam kehidupannya sehari-hari selalu menjalankan ibadah, mendekatkan diri kepada Ilahi. Lambat laun Sultan Demak mengetahui juga perubahan sikap orang-orang kepercayaannya. Ki Suro Gusti Bendoro diminta menghadap lalu ditanyai apasebabnya dia akhir-akhir ini lebih banyak berada di luar Keraton. Sebagai orang berhati lurus dan selalu taat pada ajaran agama Ki Suro Gusti Bendoro tentu saja tidak mau menceritakan keburukan perilaku Ki Dalem Sleman. Orang tua ini ingat akan satu fatwa Junjungannya Nabi Muhammad Rasullullah yang kira-kira mengatakan: Belum sempurna iman seorang Muslim, jika dia membuka aib sesama Muslim lainnya. Ki Suro ingin agar kelak Sultan sendiri nanti yang akan mengetahui sebab musababnya, atau ada orang lain yang memberitahu. Sejak Ki Suro Gusti Bendoro tidak lagi berada di Keraton Demak, Ki Dalem Sleman boleh dikatakan telah menjadi bayang-bayang kekuasaan di belakang Sultan. Banyak sekali perkara atau keputusan yang berada di bawah pengaruhnya. Tak lama setelah pertemuan terakhir dengan Ki Suro Gusti Bendoro Sultan Demak mangkat. Tahta Kerajaan dipegang oleh putera mahkota Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Entah mengapa dan tidak diketahui Pati Unus hanya memerintah selama tiga tahun, Pada tahun 1548 saudaranya yang bernama Pangeran Trenggono menggantikannya sebagai Sultan Demak. Semasa Ki Suro Gusti Bendoro berada Keraton Demak Pangeran Trenggono sangat dekat dengan orang tua itu. Karenanya begitu dia menduduki tahta Kerajaan, Sultan Trenggono segera memerintahkan untuk mencari dan meminta Ki Suro Gusti Bendoro datang menemuinya. Dalam pertemuan yang kemudian terjadi Sultan Trenggono meminta agar Ki Suro kembali berada di lingkungan Keraton. Menghormati Raja muda ini dan juga mengingat semua kebaikan mendiang ayahnya yakni Raden Patah, Sultan terdahulu Ki Suro bersedia kembali tapi dengan perjanjian dia hanya akan tinggal di lingkungan Keraton selama satu tahun. Sultan tak mau menampik karena merasa kelak nanti dia akan mampu membujuk Ki Suro agar mau tinggal lebih lama di lingkungan Keraton. Selama berada dalam Keraton Ki Suro pada Setiap pertemuan dengan Sultan Ki Suro lebih banyak membicarakan hal-hal yang menyangkut keagamaan. Dia sengaja menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan Kerajaan karena saat itu dilihatnya pengaruh Ki Dalem Sleman sudah mulai merasuk masuk ke dalam hati dan pikiran Sultan. Apalagi Ki Dalem Sleman berhasil pula merangkul seorang perwira tinggi yang sedang naik daun yakni Brajanala hingga kekuatannya di dalam Keraton bertambah besar. Bilamana Sultan pada akhirnya membawa pembicaraan pada hal-hal yang menyangkut Kerajaan, Ki Suro selalu bicara hati-hati. Dia tidak pernah menyalahkan orang lain, apa lagi menyebut nama. Namun dalam hati sebenarnya Ki Suro merasa sedih sekali. Dengan berbagai cara halus dia selalu mengingatkan Sultan, namun agaknya pengaruh Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala sudah terlalu dalam dan besar. Pada hari terakhir dia berada di Keraton, sebelum pergi Ki Suro menghadap Sultan Trenggono. Untuk pertama kalinya dia menyampaikan suara hatinya. Dimintanya secara halus agar Sultan berlalu hati-hati, selalu waspada. Dalam setiap perkara jangan hanya membaca apa yang tersurat tapi coba menyelami arti yang tersirat, jangan melihat apa yang terlihat dengan mata kasar tetapi ada baiknya merenungi dengan mata hati. Ki Suro tahu sekali Sultan Trenggono adalah seorang Raja yang alim taat beribadat dan adil bijaksana dalam segala tindakannya. Namun Ki Suro meminta agar semua tindakan itu disertai dengan satu pemikiran akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi seandainya dirinya kelak mangkat meninggalkan dunia fana ini. Dalam hal ini Ki Suro sebenarnya menginginkan agar sebelum wafat Sultan Demak itu membuat semacam surat wasiat, siapa kelak akan menjadi penggantinya menduduki tahta Kesultanan Demak. "Ki Suro, mengapa Ki Suro meminta aku menyiapkan semacam surat wasiat?" bertanya Sultan Trenggono saat itu. "Maafkan saya Sultan. Saya kira itu seyogianya merupakan satu tradisi baru Kerajaan. Agar kelak semua berjalan lancar di kemudian hari...." "Agaknya kau menginginkan aku ini lekas mangkat!" Ki Suro Gusti Bendoro membungkuk dalam-dalam. "Maaf dan ampuni diri saya ini Sultan. Tiada pernah terpikir oleh saya apalagi sampai menginginkan agar Sultan lekas mangkat. Seumpama kita berada di tepi pantai. Laut yang kita lihat. Hari ini mungkin saja keadaannya tenang, diselimuti segala keindahan. Tetapi bisa saja, setelah kita pergi tiba-tiba cuaca berubah, badai datang, laut bergelombang. Kalau kita berlaku waspada dan jauh-jauh hari meminta penduduk untuk tidak membangun rumah terlalu dekat ke pantai, maka niscaya mereka akan terhindar dari malapetaka yang tak satu manusiapun sanggup menghadapinya. Berwaspada biasanya dilakukan sebelum bencana datang melanda. Karena kalau bencana sudah di depan mata, sulit bagi kita untuk menghindari...." "Agaknya ada satu bencana yang kau lihat akan menimpa Kerajaan Demak ini? Apakah ada pengkhianat busuk di dalam Keraton ini Ki Suro?" Tanya Sultan Trenggono pula yang membuat Ki Suro Gusti Bendoro jadi tambah terpojok. Sebenarnya sudah sejak beberapa waktu lalu Ki Suro mendengar kabar bahwa di dalam Keraton tengah terjadi satu persekongkolan keji untuk menumbangkan tahta Sultan Trenggono. Walau diam-diam dia sudah bisa menduga siapa adanya orang-orang berhati culas itu, namun untuk mengungkap atau mengadukannya kepada Sultan, Ki Suro tak mau melakukan. Bisa saja keadaan berbalik dan dirinya dituduh sebagai tukang fitnah, culas. "Sultan, segala apa yang bakal datang sulit bagi manusia untuk memastikan. Tetapi berjaga-jaga dan berwaspada sambil tiada lupa memohon petunjuk Ilahi adalah penting. Saya mohon agar Sultan tetap mempercayai semua orang di dalam lingkungan Keraton, tetapi sekaligus saya harap agar Sultan juga tidak begitu saja mempercayai semua orang itu. Saya harap Sultan mengerti maksud saya..." Sultan Trenggono kerenyitkan kening lalu geleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti maksud ucapan Ki Suro meminta aku mempercayai semua orang tapi sekaligus juga meminta tidak mempercayai semua orang. Bagaimana ini...?" Sebelum Ki Suro sempat menjawab, sebelum pembicaraan selesai, saat itu ke dalam ruangan masuklah Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala. Mereka datang menghadap untuk melaporkan sesuatu yang penting. Ki Suro segera bangkit berdiri. Sultan memintanya agar tetap berada di ruangan itu tetapi dengan berat hati Ki Suro minta diri. Dia juga menyampaikan salam perpisahan pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Setelah menyampaikan laporannya kepada Sultan, Ki Dalem Sleman membungkuk lalu berucap. "Maafkan saya Sultan. Bukan maksud saya bersikap lancang ingin tahu urusan orang. Tapi sehubungan dengan salam perpisahan yang tadi disampaikan Ki Suro Gusti Bendoro, apakah Sultan memang telah melepas kepergiannya begitu saja?" "Apa maksud pertanyaan Ki Dalem?" balik bertanya Sultan Trenggono. "Selama ini saya dan Perwira Ki Brajanala memang tidak pernah ingin mengusik orang, termasuk diri Ki Suro Gusti Bendoro yang kami hormati itu. Namun sejak setahun dia berada sini, berbagai kabar menyangkut dirinya dibicarakan orang di luaran. Saya terus terang menaruh khawatir. Tanpa menyelidik saya tidak akan berani menjatuhkan tuduhan karena nanti bisa dianggap menyebar fitnah. Kabarnya beberapa waktu belakangan ini Ki Suro sering menemui Adipati-Adipati tertentu. Setiap dia selesai menemui Adipati anu, maka di Kadipaten selalu terjadi latihan perang-perangan...." Sultan Trenggono jadi terkejut mendengar keterangan Ki Dalem Sleman itu. "Mengapa sebelumnya Ki Dalem tidak memberitahu padaku?" Perwira Brajanala mendehem beberapa kali lalu dia yang menjawab pertanyaan Sultan tadi. "Kami tidak berani melapor kalau belum menyelidik sampai ke akar-akarnya. Bisa saja latihan perang-perangan itu untuk lebih menggalang kekuatan dan kewaspadaan para prajurit Kadipaten." Ucapan sang perwira seperti membela tapi sesaat kemudian dia menyambung dengan kata-kata yang membuat Sultan Trenggono jadi tercenung. "Namun bukan mustahil pula semua itu merupakan satu persiapan dari maksud atau tujuan jahat terhadap Kerajaan..." "Apalagi yang kalian ketahui tentang Ki Suro Gusti Bendoro?" Sultan bertanya. Rahangnya nampak menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak pertanda hawa kecurigaan yang menyatu dengan amarah mulai merasuk dirinya. "Mohon maaf Sultan, beri waktu kami barang satu minggu lagi. Kami berjanji akan mengungkap sisi hitam dari Ki Suro Gusti Bendoro lalu melaporkannya pada Sultan. Hanya saja saat ini ada satu hal penting yang harus kami beritahu..." Sultan menatap wajah Ki Dalem Sleman yang barusan bicara. Sultan anggukkan kepala. Menunggu agak tegang apa yang bakal diterangkan pembantu kepercayaan, tokoh silat Keraton yang duduk di hadapannya itu. "Kemarin siang kami baru mengetahui kalau salah satu barang pusaka dan keramat Kesultanan Demak telah lenyap dicuri orang." Sultan Trenggono sampai berdiri dari kursi kebesarannya karena terkejutnya mendengar ucapan Ki Dalem Sleman itu. Dia memandang lekat-lekat ke wajah si orang tua, lalu berpaling pada Brajanala. Setelah duduk kembali ke kursinya diapun bertanya. "Katakan, barang pusaka keramat yang mana yang lenyap dicuri orang?!" Ki Dalem Sleman tak segera menjawab. Dia pejamkan matanya seolah apa yang hendak diucapkannya itu sangat menyakiti hati dan perasaannya. "Katakan saja Ki Dalem, jangan biarkan Sultan menunggu," berbisik Perwira Brajanala. "Kanjeng Kiai Pujoanom," ucap Ki Dalem Sleman akhirnya dengan suara gemetar. "Bendera pusaka keramat itu yang lenyap dicuri orang." Sultan Trenggono merasa seperti disambar petir. Dia terhenyak di kursi kebesarannya. Mukanya sesaat pucat. Dua tangannya menggenggam ukiran tangan kursi yang berbentuk kepala naga. "Kraakkk!" Tidak sadar Sultan telah kerahkan kekuatan tenaga dalamnya hingga dua ukiran kepala naga tangan kursi yang terbuat dari kayu jati keras hancur! "Kalau bendera pusaka Kiai lenyap dicuri orang, pertanda cepat atau lambat Kerajaan akan dilanda malapetaka besar!" Sultan Trenggono untuk beberapa saat lamanya duduk tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang memandang mendelik tak berkedip pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Tiba-tiba dia membentak keras. "Kalian berdua! Apakah menurut kalian lenyapnya bendera keramat itu bukannya pekerjaan Ki Suro Gusti Bendoro?" "Kami berdua tidak berani menuduh tanpa bukti..." kata Perwira Brajanala. "Tapi," menyambung Ki Dalem Sleman. "Bukan mustahil memang dia pencurinya. Tadi ketika kami berdua masuk, bukankah Sultan sendiri menyaksikan bagaimana dia begitu tergesa-gesa ingin meninggalkan ruangan ini? Sebagai tokoh yang dituakan di Keraton, apalagi menjadi kepercayaan Sultan sungguh perbuatannya itu tidak pada tempatnya." "Aku perintahkan pada kalian berdua! Lekas kejar Ki Suro Gusti Bendoro. Hadapkan dia padaku!" "Kami siap menjalankan perintah," kata Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala, lalu bangkit berdiri. Setelah membungkuk dan bersurut mundur ke dua orang ini segera tinggalkan ruangan itu. Sesampainya di kandang kuda Brajanala dan Ki Dalem Sleman saling tersenyum-senyum. Setengah berbisik Ki Dalem Sleman berkata. "Apa yang kita rencanakan segera berhasil! Ha... ha! Rasakan kau Ki Suro Gusti Bendoro!" "Ki Suro pasti belum jauh. Kalaupun dia sudah meninggalkan Demak, kita bisa membentuk pasukan khusus. Paling lambat sebelum senja datang dia sudah bisa kita tangkap!" Tapi ternyata tidak semudah itu mencari Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua berilmu tinggi itu seolah lenyap ditelan bumi. Sementara itu di Kesultanan Demak acap kali terjadi kerusuhan atau pemberontakan. Ditambah pula dengan adanya kebijaksanaan memperluas daerah kekuasaan dan menyebar agama Islam. Maka usaha untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro sering kali tertunda atau terpaksa dihentikan. Baru sekitar sepuluh tahun kemudian Ki Suro berhasil mereka temui di puncak Gunung Mahameru sebagaimana yang dituturkan dalam Bagian Pertama *** LIMA BELAS TAHTA DAN DARAH KEMBALI pada peristiwa di sungai. Dalam keterkejutan hampir semua orang yang ada di tepi sungai mengenali siapa adanya orang tua di atas rakit bambu. "Ki Dalem Sleman!" berseru perwira muda Tubagus Lor Putih. "Kedatanganmu sungguh tidak terduga! Benarkah sosok di atas bahu Ki Dalem adalah pangeran Sekar?!" Ki Dalem Sleman tersenyum. "Silahkan kau melihat sendiri Perwira Muda!" katanya. Dengan tangan kirinya orang tua ini mengambil tombak yang bernama Kiai Sepuh Plered yang tergantung melintang di dadanya. Tombak ini ditancapkannya ke bambu rakit. Ketika dia membuat gerakan melompat ke udara, rakit bambu itu ikut terangkat ke atas, melayang sesaat lalu turun perlahan di tepi sungai di depan barisan pasukan kerajaan. Banyak mulut berdecak kagum, banyak mata membeliak besar melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipertunjukkan Ki Dalem Sleman itu. Tubagus Lor Putih sendiri sebenarnya merasa sangat kagum namun dia tidak mau memperlihatkan hal itu. Perwira muda ini memang punya sifat sombong walau terhadap orang lain yang jelas-jelas memiliki kepandaian atau kesaktian jauh lebih tinggi darinya. Ki Dalem Sleman sesaat memandang berkeliling. Lalu perlahan-lahan dia turunkan tubuh yang ada di pundaknya, dibaringkan menelentang di tanah becek. Semua orang memperhatikan. Yang tergeletak ditanah itu memang Pangeran Sekar adanya. Wajahnya yang tua agak kebiruan. Bukan saja karena lama tenggelam di dalam air tetapi juga akibat racun panah yang menancap di bahu kanannya dan berada dalam keadaan patah. Mungkin sang pangeran berusaha mencabut panah itu tetapi patah. Tubagus Lor Putih melangkah mendekati lalu memeriksa. Wajahnya berubah. "Dia masih hidup!" ujar sang perwira muda. "Aneh, racun panah tidak membunuhnya. Tenggelam di dalam air tidak mematikannya. Kalau tidak ada yang menolong tak mungkin hal ini terjadi!" Perlahan-lahan perwira itu angkat kepalanya dan memandang pada Ki Dalem Sleman. Si orang tua mengerti maksud pandangan itu. Tapi selama orang tidak bertanya dia tidak akan mengatakan apa-apa. Tiba-tiba Tubagus Lor Putih angkat golok panjang yang masih tergenggam di tangannya. Dengan cepat senjata itu hendak ditusukkannya ke leher Pangeran Sekar. Tapi dua jari berkelebat menjepit badan golok hingga gerakan senjata ini tertahan. Itulah dua jari Ki Dalem Sleman. Tubagus Lor Putih memandang dengan mata dibesarkan pada tokoh silat Keraton Demak itu. Dia segera kerahkan tenaga luarnya untuk meneruskan tusukan. Tapi golok itu tidak bergeming dalam jepitan dua jari Ki Dalem Sleman. Sang perwira ganti mengerahkan tenaga dalam. Golok sesaat memancarkan cahaya terang namun cahaya itu meredup dan lenyap begitu Ki Dalem Sleman alirkan pula tenaga dalamnya. Merasa malu dan agar orang lain tidak tahu kalau dia telah pecundang dalam pertarungan tenaga luar dan tenaga dalam singkat itu, sang perwira muda segera berucap lantang. "Ki Dalem! Saya gembira berhasil menangkap Pangeran yang lolos ini. Tapi mengapa kini kau mencegah saya membunuhnya?!" Ki Dalem Sleman tersenyum. "Perwira sombong, rasakan olehmu sekarang!" kata Ki Dalem Sleman dalam hati sementara wajah perwira muda di hadapannya tampak memercikkan keringat. "Perwira Tubagus Lor Putih," Ki Dalem Sleman berucap. "Kau dan semua yang ada di sini tahu kalau aku adalah orang dalam pengabdi Keraton Demak. Adalah kewajibanku untuk menolong dan menyelamatkan Pangeran Sekar. Karena dia adalah orang Keraton. Lebih dari itu dia adalah adinda dari Sultan Demak pertama!" "Semua yang Ki Dalem katakan memang benar. Tapi Ki Dalem lupa satu hal. Pangeran Sekar kini tak lebih dari seorang penghujat, seorang pemberontak tua renta yang hendak merebut tahta Kesultanan Demak dari tangan Pangeran Prawoto, pewaris syah tahta! Apakah Ki Dalem tidak merasa perbuatan Ki Dalem ini satu hal yang keliru?! "Perwira Muda, kau dengar dulu jawabanku," kata Ki Dalem Sleman dengan sikap tenang sementara Tubagus Lor Putih tampak bergejolak dadanya tanda amarah mulai menguasai dirinya. "Siapa adanya Pan- geran Sekar dan juga siapa adanya Pangeran Prawoto kita semua sudah tahu. Tapi siapa sebenarnya yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Demak, itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Pangeran Sekar bisa menjadi Sultan karena dia adalah adik kandung mendiang Raden Patah. Di lain pihak Pangeran Prawoto juga punya hak menduduki tahta Keraton Demak karena dia adalah putera mendiang Sultan Trenggono. Jadi dua-duanya sama-sama punya hak. Lalu siapa yang harus menjadi Sultan? Siapa yang akan menjadi Raja?!" "Ki Dalem, dari ucapanmu jelas saya tangkap bahwa kau membela Pangeran Sekar. Kau ingin agar Pangeran Sekar yang mewarisi tahta Keraton Demak. Tetapi kau tidak mau melihat kenyataan. Pangeran tua ini terjebak di tengah sungai ketika dia bersama pasukannya bersiap-siap menyusun rencana menyerang Kotaraja! Dia adalah seorang jahat! Seorang jahat tidak pantas dijadikan Raja..." "Itu menurutmu Perwira Muda. Tapi menurut orang lain, atau menurut Pangeran Sekar sendiri tindakannya itu adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Menegakkan yang hak dan menghancurkan yang batil..." "Ki Dalem, kita bisa berdebat sampai sehari semalam di tempat ini. Saya akan membawa pangeran Sekar ke Kotaraja. Kerajaan nanti yang akan memutuskan apakah dia ini seorang jahat atau seorang pembela kebenaran dan keadilan!" "Perwira Muda Tubagus Lor Putih, menyesal sekali. Aku tidak akan menyerahkan Pangeran Sekar padamu..." "Kalau begitu harap maafkan. Saya terpaksa memerintahkan pasukan untuk meminta Ki Dalem segera meninggalkan tempat ini...." "Tubagus... Tubagus...." kata Ki Dalem Sleman sambil geleng-gelengkan kepala. Kali ini dia menyebut langsung nama si perwira muda tanpa menyebut pangkatnya. "Kau terlalu pongah.... Kau ingin menghabisi Pangeran ini? Lalu membawa jenazahnya ke hadapan Pangeran Prawoto sekaligus memperlihatkan bahwa kau adalah seorang. perwira yang telah sangat berjasa pada Kerajaan? Tubagus, kau menganggap dirimu sebagai prajurit pembela Keraton Demak. Di mata Pangeran Prawoto kau adalah pahlawan. Tapi di lain pihak, di mata Pangeran Sekar kau adalah pengkhianat jahat!" "Ki Dalem, mulutmu sungguh berbisa, ucapanmu mengandung racun!" "Kau benar benar ingin menghabisi Pangeran ini, Tubagus?!" Ki Dalem mengulang pertanyaannya. Tubagus Lor Putih tak menjawab pertanyaan orang. Dia kembali kerahkan tenaga dalam untuk melepaskan jepitan dua jari Ki Dalem Sleman yang masih mengancing goloknya. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada. Apa yang dilakukan sang perwira sudah dimaklumi oleh tokoh tua Keraton Demak yang jadi lawannya itu. "Kau benar-benar mau menghabisinya, kau mau membunuhnya silahkan!" Ki Dalem Sleman renggangkan jepitan dua jari tangannya lalu mundur satu langkah, Perwira muda Tubagus Lor Putih yang berada dalam pengaruh hawa amarah tidak berpikir lagi, mengapa mendadak orang berubah pikiran. Dia langsung saja tusukkan ujung golok ke leher Pangeran Sekar. Tak banyak darah yang muncrat dari tubuh yang setengah kaku dan sudah lama pingsan itu. "Ku harap sekarang kau sudah puas, Tubagus! Tapi jangan harap kau akan mendapat bintang jasa atau kenaikan pangkat!" kata Ki Dalem sambil menyeringai. Lalu dengan satu gerakan cepat orang tua ini menyambar jenazah Pangeran Sekar, memanggulnya di bahunya dan melangkah naik ke atas rakit bambu yang masih ditancapi tombak Kiai Sepuh Plered. "Tunggu!" Perwira muda Tubagus Lor Putih berseru. Dia memberi isyarat pada pasukan. Belasan prajurit segera mengurung Ki Dalem Sleman yang tenang saja melangkah ke arah rakit bambu. Ki Dalem Sleman injakkan dua kakinya di atas rakit. Tangan kirinya memegang batangan tombak. Dia berpaling ke arah sang perwira muda. "Hendak kau bawa kemana jenazah Pangeran Sekar?!" bentak Tubagus Lor Putih. "Kemana aku mau membawa adalah urusanku. Kau sudah membunuhnya. Apakah menginginkan mayatnya pula?!" "Benar! Kau tidak boleh membawa mayat itu. Tinggalkan di sini! Mayat itu milik Kerajaan!" jawab Tubagus Lor Putih. Ki Dalem Sleman menyeringai. "Kau terlalu mengada-ada Tubagus Lor Putih. Adatmu sungguh buruk. Harap kau mencoba mawas diri. Kalau tidak perjalanan hidup masa depanmu akan seburuk adat yang kau miliki!" Air muka Tubagus Lor Putih merah mengelam. "Ki Dalem! Jika kau bersikeras hendak membawa mayat Pangeran Sekar, aku terpaksa memerintahkan pasukan untuk merampas mayat itu!" "Hemmm.... Kalau begitu silahkan kau coba!" Mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman, Tubagus Lor Putih segera berteriak pada anggota pasukannya. "Kalian semua! Rampas mayat Pangeran Sekar!" Belasan prajurit yang memang sudah mengurung segera menyerbu. Tanpa mempergunakan senjata mereka berusaha merebut jenazah Pangeran Sekar yang tergeletak di pundak kiri Ki Dalem Sleman. "Prajurit-prajurit malang! Aku tahu kalian hanya menjalankan perintah! Aku tak mau menurunkan tangan jahat pada kalian! Jangan berani mendekat!" Ki Dalem Sleman berucap. Dia berkata tanpa memandang pada prajurit-prajurit yang mendatanginya tapi menatap ke jurusan Tubagus Lor Putih. Sesaat anggota pasukan yang hendak menyerbu jadi bimbang. Gerakan mereka tertahan. Tubagus Lor Putih jadi marah. Dia membentak keras. "Lakukan perintahku atau kalian semua akan menerima hukuman berat!" Tak ada pilihan lain. Lebih dari selusin prajurit serta merta menyerbu. Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. Tangan kiri dan salah satu kakinya bergerak. Lalu terdengarlah jeritan-jeritan kesakitan. Empat prajurit mencelat mental, jatuh bergedebukan di tanah. Mereka mengerang kesakitan sambil pegangi kepala yang benjut, hidung yang berdarah, dada yang patah tulang iganya atau perut yang mau jebol. Di atas rakit Ki Dalem masih tampak tegak seolah tak bergerak dan matanya seperti tadi masih terus saja menatap ke arah Tubagus Lor Putih. "Cabut senjata! Habisi orang tua itu!" teriak sang perwira muda. Golok dan pedang dicabut keluar dari sarangnya. Belasan prajurit menghunus senjata. Lalu serempak mereka kembali menyerbu Ki Dalem Sleman. Orang tua di atas rakit ini gerakkan tangan kirinya, mencabut Tombak Kiai Sepuh Plered yang sejak tadi ditancapkannya di bambu rakit. Lalu di udara tiba-tiba berkiblat sinar hitam berbentuk setengah lingkaran, menyapu pulang balik tiga kali berturut-turut. Suara beradunya senjata berdentrangan. Empat patahan pedang dan dua patahan golok mental ke udara. Lima prajurit berteriak kesakitan dan melompat mundur. Muka mereka seputih kain kafan ketika melihat tangan, dada dan perut mereka mengucurkan darah. Di sebelah kiri dua prajurit tergeletak di tanah dengan luka besar menguak di leher. Keduanya mengerang panjang lalu tak berkutik lagi. "Tubagus Lor Putih, jika kau masih hendak memberi perintah yang bukan-bukan, aku tak segan-segan membunuh semua anggota pasukanmu!" "Ki Dalem Sleman! Apa yang kau lakukan ini menyatakan bahwa kau sudah menjadi pemberontak besar terhadap Kesultanan Demak! Aku akan melaporkan hal ini pada Sultan!" "Aku ingin tertawa bergelak mendengar kata-katamu itu! Seharusnya aku yang akan melapor pada Sultan tentang kebodohan dan kegagalanmu membekuk Pangeran Sekar! Kalau aku tidak membantu menangkapnya apa kau kira kau bisa membunuh Pangeran ini? Kau tidak lebih dari anak kecil yang hari ini menerima berkah dariku untuk aku suapi sesendok bubur enak! Ha... ha... ha!" Merah padam muka Tubagus Lor Putih mendengar ejekan Ki Dalem Sleman itu. Amarah membuat dia ingin menyerang sendiri si orang tua. Tangannya yang masih menggenggam hulu golok sampai bergetar menahan geram. Tapi dia maklum Ki Dalem Sleman bukan lawannya. Kalau dia nekad menyerang kakek sakti itu bisa merubuhkannya dalam satu gebrakan saja. "Pemberontak tua! Lekas kau tinggalkan tempat ini! Mulai hari ini kau akan menjadi orang buronan!" Ki Dalem Sleman tersenyum. Dia memandang pada prajurit kepala yang tadi hendak dipancung oleh Tubagus Lor Putih. "Prajurit kepala, bangkitlah! Mendekat kemari!" Ki Dalem Sleman berkata pada prajurit itu seraya memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Si prajurit sendiri sampai saat itu masih berlutut di tanah karena tadi sebenarnya dia sudah siap menerima hukuman. Inilah kehebatan sifat seorang prajurit Demak. Walau berbagai hal telah terjadi di sekitarnya di depan matanya namun sebagai orang yang hendak dihukum dia tidak mempergunakan kesempatan untuk menyelamatkan diri. Bahkan sedikitpun dia tidak bergerak dari tempatnya semula. Namun kali ini suara ucapan Ki Dalem Sleman terdengar begitu berwibawa. Hingga prajurit kepala berkulit hitam ini bangkit berdiri dari berlututnya lalu melangkah mendekati Ki Dalem Sleman. Si kakek pandangi prajurit itu dari kepala sampai ke kaki. "Siapa namamu prajurit?" "Saya bernama Gedeng Kemitir, Ki Dalem..." "Gedeng Kemitir, apakah kau merasa masih ada gunanya bergabung dengan atasan yang hendak menghabisi nyawamu di kala istrimu baru satu minggu melahirkan? Padahal kesalahan itu semuanya adalah menjadi tanggung jawab atasanmu Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih itu?" "Ki Dalem, apa maksud ucapanmu? Jangan kau berani menghasut! Jaga mulutmu! Aku sudah memberi kebebasan padamu untuk meninggalkan tempat ini! Mengapa masih mau berbuat macam-macam?!" Tubagus Lor Putih tak dapat menahan amarahnya. Lupa sudah dia kalau orang tua itu bukan tandingannya. Golok panjang di tangan kanannya dibabatkannya ke batok kepala Ki Dalem Sleman. Selagi senjata tajam itu terayun dari atas ke bawah, tangan kanan Ki Dalem Sleman bergerak lebih dulu, menyodok kebagian tubuh antara tulang dada dan deretan tulang iga di rusuk kanan sang perwira muda. "Bukkk!" Tubagus Lor Putih terlempar empat langkah, jatuh duduk di tanah. Goloknya terlepas, jatuh menancap di sebelahnya. Dia berusaha bangkit tapi tidak mampu. Tubuhnya sebelah kanan terasa sakit dan kaku. Seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu, Ki Dalem Sleman kembali bertanya pada prajurit kepala yang berdiri di depannya. "Gedeng Kemitir, aku bertanya sekali lagi. Apakah kau masih ingin bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh seorang atasan berpikiran sesat berjiwa pongah?!" "Saya... saya tidak tahu Ki Dalem," menyahuti si prajurit kepala. "Dengar ucapanku Gedeng Kemitir. Kau tak punya tempat lagi dalam barisan prajurit Kerajaan. Jika kau tetap bertahan nasib buruk menunggu masa depanmu. Sama saja kau diam di sarang harimau. Naik ke atas rakit ini. Ikut bersamaku. Aku akan memberikan beberapa ilmu kepandaian padamu. Lain waktu jika kau kembali ke Kotaraja, kau boleh menyelesaikan urusan dengan atasan yang hendak memancung kepalamu itu!" "Saya seorang prajurit Demak. Saya harus patuh pada atasan dan Kerajaan!" jawab Gedeng Kemitir. Ki Dalem Sleman tersenyum. "Seorang prajurit harus patuh pada atasan. Tapi atasan yang mana? Bukan pada atasan yang zolim, yang hendak menghabisimu dan bersembunyi dibalik tanggung jawabnya. Kesetiaanmu pada Kerajaan akan diputar balik oleh Perwira Muda itu. Kau hanya akan dijadikan tumbal kesalahannya untuk melindungi dirinya sendiri di hadapan Sultan!" "Ki Dalem! Kau benar-benar penghasut jahat! Busuk!" teriak Tubagus Lor Putih. Lalu dia berteriak pada prajurit kepala. "Lekas kembali ke tempatmu dan berlutut!" Gedeng Kemitir memandang pada Ki Dalem Sleman lalu berpaling menatap atasannya sang perwira, muda. Akhirnya prajurit kepala ini gerakkan kakinya melangkah. Bukan ke arah Tubagus Lor Putih, tapi naik ke atas rakit, tegak di belakang Ki Dalem Sleman. Si orang tua tertawa mengekeh. "Tubagus Lor Putih, kau dan semua yang ada di sini melihat sendiri apa yang terjadi. Prajurit Kepala bawahanmu telah menjatuhkan pilihan. Dia ikut denganku! Kelak di ke-mudian hari apa yang telah kau perbuat terhadapnya akan kau terima balasannya langsung dari dirinyasendiri!" "Tua bangka jahanam! Sultan akan menghukummu!" Tubagus Lor Putih berusaha bangkit tapi dia mengerang kesakitan dan jatuh terduduk kembali di tanah. Di atas rakit Ki Dalem Sleman pegang Tombak Kiai Sepuh Plered dengan tangan kirinya. Kaki kanannya dijejakkan ke tanah. Debu mengepul. Rakit bambu itu melesat ke atas, melayang berputar lalu menukik ke arah tengah sungai. Tak lama kemudian rakit dan penumpang di atasnya meluncur ke hilir mengikuti aliran arus yang masih deras. *** Bersambung Ke Bagian Selanjutnya: Petir Di Mahameru 4 Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net